Saturday, July 5, 2014

7 teknologi tinggi milik nenek moyang bangsa indonesia

1. Borobudur: bukti kecanggihan 
teknologi dan arsitektur 
Borobudur adalah candi yang 
diperkirakan mulai dibangun 
sekitar 824 M oleh Raja Mataram 
bernama Samaratungga dari wangsa Syailendra. Borobudur 
merupakan bangunan candi yang 
sangat megah. 
Tidak dapat dibayangkan 
bagaimana nenek moyang kita 
membangun Borobudur yang demikian berat dapat berdiri 
kokoh dengan tanpa perlu 
memakukan ratusan paku bumi 
untuk mengokohkan pondasinya, 
tak terbayangkan pula 
bagaimana batu-batu yang membentuk Borobudur itu 
dibentuk dan diangkut ke area 
pembangunan di atas bukit. 
Bahkan dengan kecanggihan 
yang ada pada masa kini, sulit 
membangun sebuah candi yang mampu menyamai candi 
Borobudur. Borobudur juga 
mengadopsi Konsep Fraktal. 
Fraktal adalah bentuk geometris 
yang memiliki elemen-elemen 
yang mirip dengan bentuknya secara keseluruhan. 
Candi borobudur sendiri adalah 
stupa raksasa yang di dalamnya 
terdiri dari stupa-stupa lain yang 
lebih kecil. Terus hingga 
ketidakberhinggaan. Sungguh mengagumkan nenek moyang 
kita sudah memiliki pengetahuan 
seperti itu. Bangunan Candi 
Borobudur benar-benar 
bangunan yang luar biasa. 
2. Kapal Jung Jawa: Teknologi kapal raksasa 
Jauh sebelum Cheng Ho dan 
Columbus, para penjelajah laut 
Nusantara sudah melintasi 
sepertiga bola dunia. Meskipun 
sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang China sudah 
mengembangkan beragam jenis 
kapal dalam berbagai ukuran, 
hingga abad VII kecil sekali peran 
kapal China dalam pelayaran laut 
lepas. Dalam catatan perjalanan 
keagamaan I-Tsing (671-695 M) 
dari Kanton ke Perguruan 
Nalanda di India Selatan 
disebutkan bahwa ia 
menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai 
lalu lintas pelayaran di ”Laut 
Selatan”. 
Pelaut Portugis yang menjelajahi 
samudera pada pertengahan 
abad ke-16 Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit tahun 
1645 menyebutkan, orang Jawa 
lebih dulu berlayar sampai ke 
Tanjung Harapan, Afrika, dan 
Madagaskar. 
Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 
berkulit cokelat seperti orang 
Jawa. 'Mereka mengaku 
keturunan Jawa,' kata Couto, 
sebagaimana dikutip Anthony 
Reid dalam buku Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. 
Berdasarkan relief kapal di Candi 
Borobudur membuktikan bahwa 
sejak dulu nenek moyang kita 
telah menguasai teknik 
pembuatan kapal. Kapal Borobudur telah memainkan 
peran utama dalam segala hal 
dalam bahasa Jawa pelayaran, 
selama ratusan ratus tahun 
sebelum abad ke-13. 
Memasuki abad ke-8 awal, kapal Borobudur digeser oleh Jung 
besar Jawa, dengan tiga atau 
empat layar sebagai Jung. Kata 
'Jung' digunakan pertama kali 
dalam perjalanan biksu Odrico 
jurnal, Jonhan de Marignolli, dan Ibn Battuta berlayar ke 
Nusantara, awal abad ke-14. 
Mereka memuji kehebatan kapal 
Jawa raksasa sebagai penguasa 
laut Asia Tenggara. Teknologi 
pembuatan Jung tak jauh berbeda dari karya kapal 
Borobudur; seluruh badan kapal 
dibangun tanpa menggunakan 
paku. 
Disebutkan, jung Nusantara 
memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis 
empat serta mampu menahan 
tembakan meriam kapal-kapal 
Portugis. 
Bobot jung rata-rata sekitar 
600 ton, melebihi kapal perang Portugis. Jung terbesar dari 
Kerajaan Demak bobotnya 
mencapai 1.000 ton yang 
digunakan sebagai pengangkut 
pasukan Nusantara untuk 
menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisa 
dikatakan, kapal jung Nusantara 
ini disandingkan dengan kapal 
induk di era modern sekarang ini. 
3. Keris: kecanggihan teknologi 
penempaan logam Teknologi logam sudah lama 
berkembang sejak awal masehi di 
nusantara. Para empu sudah 
mengenal berbagai kualitas 
kekerasan logam. Keris memiliki 
teknologi penempaan besi yang luar biasa untuk ukuran 
masyarakat di masa lampau. 
Keris dibuat dengan teknik 
penempaan, bukan dicor. Teknik 
penempaan disertai pelipatan 
berguna untuk mencari kemurniaan besi, yang mana 
pada waktu itu bahan-bahan 
besi masih komposit dengan 
materi-materi alam lainnya. 
Keris yang mulanya dari 
lembaran besi yang dilipat-lipat hingga kadang sampai ribuan kali 
lipatan sepertinya akan tetap 
senilai dengan prosesnya yang 
unik, menarik dan sulit. 
Perkembangan teknologi tempa 
tersebut mampu menciptakan satu teknik tempa Tosan Aji 
( Tosan = besi, Aji = berharga). 
Pemilihan akan batu meteorit 
yang mengandung unsur titanium 
sebagai bahan keris, juga 
merupakan penemuan nenek moyang kita yang mengagumkan. 
Titanium lebih dikenal sebagai 
bahan terbaik untuk membuat 
keris karena sifatnya ringan 
namun sangat kuat. 
Kesulitan dalam membuat keris dari bahan titanium adalah titik 
leburnya yang mencapai 60 ribu 
derajat celcius, jauh dari titik 
lebur besi, baja atau nikel yang 
berkisar 10 ribu derajat celcius. 
Titanium ternyata memiliki banyak keunggulan dibandingkan 
jenis unsur logam lainnya. Unsur 
titanium itu keras, kuat, ringan, 
tahan panas, dan juga tahan 
karat. 
Unsur logam titanium baru ditemukan sebagai unsur logam 
mandiri pada sekitar tahun 1940, 
dan logam yang kekerasannya 
melebihi baja namun jauh lebih 
ringan dari besi. Dalam 
peradaban modern sekarang, titanium dimanfaatkan orang 
untuk membuat pelapis hidung 
pesawat angkasa luar, serta 
ujung roket dan peluru kendali 
antar benua. 
4. Benteng Keraton Buton: Arsitektur bangunan untuk 
pertahanan 
Di Buton, Sulawesi Tenggara ada 
Benteng yang dibangun di atas 
bukit seluas kurang lebih 20,7 
hektar. Benteng yang merupakan bekas ibukota 
Kesultanan Buton ini memiliki 
bentuk arsitek yang cukup unik, 
terbuat dari batu kapur. 
Benteng yang berbentuk 
lingkaran ini memiliki panjang keliling 2.740 meter. Benteng ini 
memiliki 12 pintu gerbang dan 16 
pos jaga / kubu pertahanan 
(bastion) yang dalam bahasa 
setempat disebut baluara. 
Tiap pintu gerbang (lawa) dan baluara dikawal 4-6 meriam. 
Jumlah meriam seluruhnya 52 
buah. Pada pojok kanan sebelah 
selatan terdapat godana-oba 
(gudang mesiu) dan gudang 
peluru di sebelah kiri. Letaknya pada puncak bukit 
yang cukup tinggi dengan lereng 
yang cukup terjal memungkinkan 
tempat ini sebagai tempat 
pertahanan terbaik di zamannya. 
Benteng ini menunjukkan betapa hebatnya ahli bangunan nenek 
moyang kita dalam membuat 
teknologi bangunan untuk 
pertahanan. 
5. Si Gale gale: Teknologi Robot 
tradisional Nusantara Orang Toba Batak Sumatra 
utara pada zaman dahulu sudah 
bisa membuat robot tradisional 
yang dikenal dengan sebutan si 
gale-gale. Boneka ini menguasai 
sistem kompleks tali yang dibuat sedemikian rupa. Melalui tali yang 
ditarik ulur inilah boneka itu 
dapat membungkuk dan 
menggerakan “tangannya” 
sebagai mana layaknya orang 
menari. Menurut cerita, Seorang Raja 
dari Suku Karo di Samosir 
membuat patung dari kayu 
untuk mengenang anak satu- 
satunya yang meninggal dunia. 
Patung kayu tersebut dapat menari-nari yang digerakkan 
oleh beberapa orang. Sigale - 
gale dimainkan dengan iringan 
musik tradisional khas Batak. 
Boneka yang tingginya mencapai 
satu setengah meter tersebut diberi kostum tradisional Batak. 
Bahkan semua gerak-geriknya 
yang muncul selama pertunjukan 
menciptakan kesan-kesan dari 
contoh model manusia. 
Kepalanya bisa diputar ke samping kanan dan kiri, mata 
dan lidahnya dapat bergerak, 
kedua tangan bergerak seperti 
tangan-tangan manusia yang 
menari serta dapat menurunkan 
badannya lebih rendah seperti jongkok waktu menari. 
Si gale-gale merupakan bukti 
bahwa nenek moyang kita sudah 
dapat membuat boneka 
mekanikal atau robot walau 
dalam bentuk yang sederhana. Robot tersebut diciptakan untuk 
dapat meniru gerakan manusia. 
6. Pengindelan Danau Tasikardi, 
Banten : Kecanggihan Teknologi 
Penjernihan Air 
Nenek moyang kita ternyata sudah mengembangkan teknologi 
penyaringan air bersih. Sekitar 
abad ke16-17 Kesultanan Banten 
telah membangun Bangunan 
penjernih air untuk menyaring 
air yang berasal dari Waduk Tasikardi ke Keraton Surosowan. 
Proses penjernihannya tergolong 
sudah maju. Sebelum masuk ke 
Surosowan, air yang kotor dan 
keruh dari Tasik Ardi disalurkan 
dan disaring melalui tiga bangunan bernama Pengindelan 
Putih, Abang, dan Emas. 
Di tiap pengindelan ini, air 
diproses dengan mengendapkan 
dan menyaring kotoran. Air 
selanjutnya mengalir ke Surosowan lewat serangkaian 
pipa panjang yang terbuat dari 
tanah liat dengan diameter 
kurang lebih 40 cm. 
Terlihat sekali bahwa pada masa 
tersebut sudah mampu menguasai teknologi pengolahan 
air keruh menjadi air layak pakai. 
Danau Tasik Ardi sendiri 
merupakan danau buatan. 
Sebagai situs sejarah, 
keberadaan danau ini adalah bukti kegemilangan peradaban 
Kesultanan Banten pada masa 
lalu. 
Untuk ukuran saat itu, membuat 
waduk atau danau buatan untuk 
mengairi areal pertanian dan memenuhi kebutuhan pasokan air 
bagi penduduk merupakan 
terobosan yang cemerlang. 
7. Karinding: Teknologi pengusir 
hama dengan gelombang suara 
Ternyata nenek moyang dan leluhur kita mempunyai suatu 
alat musik tiup tradisional yang 
berfungsi sebagai hiburan 
sekaligus pengusir hama. 
Alat musik dari Sunda ini terbuat 
dari pelepah kawung atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang 
dipotong menjadi tiga bagian 
yaitu bagian jarum tempat 
keluarnya nada (disebut cecet 
ucing atau ekor kucing), 
pembatas jarum, dan bagian ujung yang disebut panenggeul 
(pemukul). 
Jika bagian panenggeul dipukul, 
maka bagian jarum akan 
bergetar dan ketika dirapatkan 
ke rongga mulut, maka akan menghasilkan bunyi yang khas. 
Alat ini bukan cuma untuk 
menghibur tapi juga ternyata 
berfungsi mengusir hama di 
kebun atau di ladang pertanian. 
Suara yang dihasilkan oleh karinding ternyata menghasilkan 
gelombang low decibel yang 
menyakitkan hama sehingga 
mereka menjauhi ladang 
pertanian. 
Frekuensi suara yang dikeluarkan oleh alat musik 
tersebut menyakitkan bagi hama 
tersebut, atau bisa dikatakan 
frekuensi suaranya melebihi dari 
rentang frekuensi suara hama 
tersebut, sehingga hama tersebut akan panik dan 
terganggu konsentrasinya. 
Kecanggihan Karinding sebagai 
bukti bahwa nenek moyang kita 
sejak dulu sudah mampu 
menciptakan alat yang menghasilkan gelombang suara. 
Ini adalah alat mengusir hama 
yang aman bagi lingkungan. 
Dibutuhkan perhitungan yang 
teliti untuk menciptakan alat 
musik seperti itu.

No comments: