Saturday, July 5, 2014

Sejarah Lambang Garuda

Siapa tak kenal burung Garuda 
berkalung perisai yang 
merangkum lima sila (Pancasila). 
Tapi orang Indonesia mana 
sajakah yang tahu, siapa 
pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, 
yang terlahir dengan nama 
Syarif Abdul Hamid Alkadrie, 
putra sulung Sultan Pontianak; 
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. 
Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. 
Dalam tubuhnya mengalir darah 
Indonesia, Arab –walau pernah 
diurus ibu asuh berkebangsaan 
Inggris. Istri beliau seorang 
perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak – 
keduanya sekarang di Negeri 
Belanda. 
Syarif Abdul Hamid Alkadrie 
menempuh pendidikan ELS di 
Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di 
Bandung satu tahun, THS 
Bandung tidak tamat, kemudian 
KMA di Breda, Negeri Belanda 
hingga tamat dan meraih 
pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. 
Ketika Jepang mengalahkan 
Belanda dan sekutunya, pada 10 
Maret 1942, ia tertawan dan 
dibebaskan ketika Jepang 
menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat 
menjadi kolonel. Ketika ayahnya 
mangkat akibat agresi Jepang, 
pada 29 Oktober 1945 dia 
diangkat menjadi Sultan 
Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan 
Hamid II. Dalam perjuangan 
federalisme, Sultan Hamid II 
memperoleh jabatan penting 
sebagai wakil Daerah Istimewa 
Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 
dan selalu turut dalam 
perundingan-perundingan Malino, 
Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB 
di Indonesia dan Belanda. 
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in 
Buitenfgewone Dienst bij HN 
Koningin der Nederlanden, yakni 
sebuah pangkat tertinggi 
sebagai asisten ratu Kerajaan 
Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh 
pangkat tertinggi dalam 
kemiliteran. Pada 21-22 
Desember 1949, beberapa hari 
setelah diangkat menjadi Menteri 
Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan 
makar di Tanah Air menawarkan 
“over commando” kepadanya, 
namun dia menolak tegas. Karena 
tahu Westerling adalah gembong 
APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 
Januari 1950, sepulangnya dari 
Negeri Kincir itu dia merasa 
kecewa atas pengiriman pasukan 
TNI ke Kalbar – karena tidak 
mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. 
Pada saat yang hampir 
bersamaan, terjadi peristiwa 
yang menggegerkan; Westerling 
menyerbu Bandung pada 23 
Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan 
anak buahnya itu, Westerling 
sempat di marah. Sewaktu 
Republik Indonesia Serikat 
dibentuk, dia diangkat menjadi 
Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri 
negara itu ditugaskan Presiden 
Soekarno merencanakan, 
merancang dan merumuskan 
gambar lambang negara. Dari 
transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) 
sewaktu penyerahan file 
dokumen proses perancangan 
lambang negara, disebutkan “ide 
perisai Pancasila” muncul saat 
Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. 
Dia teringat ucapan Presiden 
Soekarno, bahwa hendaknya 
lambang negara mencerminkan 
pandangan hidup bangsa, dasar 
negara Indonesia, di mana sila- sila dari dasar negara, yaitu 
Pancasila divisualisasikan dalam 
lambang negara. Tanggal 10 
Januari 1950 dibentuk Panitia 
Teknis dengan nama Panitia 
Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara 
Zonder Porto Folio Sultan Hamid II 
dengan susunan panitia teknis M 
Yamin sebagai ketua, Ki Hajar 
Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh 
Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini 
bertugas menyeleksi usulan 
rancangan lambang negara 
untuk dipilih dan diajukan kepada 
pemerintah. Merujuk keterangan 
Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk 
melaksanakan Keputusan Sidang 
Kabinet tersebut Menteri 
Priyono melaksanakan 
sayembara. Terpilih dua 
rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan 
Hamid II dan karya M Yamin. Pada 
proses selanjutnya yang diterima 
pemerintah dan DPR RIS adalah 
rancangan Sultan Hamid II. Karya 
M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar 
matahari dan menampakkan 
pengaruh Jepang. Setelah 
rancangan terpilih, dialog intensif 
antara perancang (Sultan Hamid 
II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad 
Hatta, terus dilakukan untuk 
keperluan penyempurnaan 
rancangan itu. Terjadi 
kesepakatan mereka bertiga, 
mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang 
semula adalah pita merah putih 
menjadi pita putih dengan 
menambahkan semboyan 
“Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 
8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat 
Menteri Negara RIS, Sultan Hamid 
II diajukan kepada Presiden 
Soekarno. Rancangan final 
lambang negara tersebut 
mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, 
karena adanya keberatan 
terhadap gambar burung garuda 
dengan tangan dan bahu 
manusia yang memegang perisai 
dan dianggap bersifat mitologis. Sultan Hamid II kembali 
mengajukan rancangan gambar 
lambang negara yang telah 
disempurnakan berdasarkan 
aspirasi yang berkembang, 
sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. 
Disingkat Garuda Pancasila. 
Presiden Soekarno kemudian 
menyerahkan rancangan 
tersebut kepada Kabinet RIS 
melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG 
Pringgodigdo dalam bukunya 
“Sekitar Pancasila” terbitan Dep 
Hankam, Pusat Sejarah ABRI 
menyebutkan, rancangan 
lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan 
pemakaiannya dalam Sidang 
Kabinet RIS. Ketika itu gambar 
bentuk kepala Rajawali Garuda 
Pancasila masih “gundul” dan 
“tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya 
kebangsaan anak-anak negeri 
yang diramu dari berbagai 
aspirasi dan kemudian dirancang 
oleh seorang anak bangsa, 
Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. 
Presiden Soekarno kemudian 
memperkenalkan untuk pertama 
kalinya lambang negara itu 
kepada khalayak umum di Hotel 
Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan 
kembali lambang negara itu terus 
diupayakan. Kepala burung 
Rajawali Garuda Pancasila yang 
“gundul” menjadi “berjambul” 
dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari 
semula menghadap ke belakang 
menjadi menghadap ke depan 
juga diperbaiki, atas masukan 
Presiden Soekarno. Tanggal 20 
Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah 
diperbaiki mendapat disposisi 
Presiden Soekarno, yang 
kemudian memerintahkan pelukis 
istana, Dullah, untuk melukis 
kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan 
Menteri Negara RIS Sultan Hamid 
II yang dipergunakan secara 
resmi sampai saat ini. 
Untuk terakhir kalinya, Sultan 
Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final 
gambar lambang negara, yaitu 
dengan menambah skala ukuran 
dan tata warna gambar lambang 
negara di mana lukisan 
otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu 
Jakarta pada 18 Juli 1974 
Rancangan terakhir inilah yang 
menjadi lampiran resmi PP No 66 
Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 
Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara 
yang ada disposisi Presiden 
Soekarno dan foto gambar 
lambang negara yang diserahkan 
ke Presiden Soekarno pada awal 
Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah 
Pontianak. Sultan Hamid II wafat 
pada 30 Maret 1978 di Jakarta 
dan dimakamkan di pemakaman 
Keluarga Kesultanan Pontianak di 
Batulayang. Turiman SH M.Hum, Dosen 
Fakultas Hukum Universitas 
Tanjungpura Pontianak yang 
mengangkat sejarah hukum 
lambang negara RI sebagai tesis 
demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, 
menjelaskan bahwa hasil 
penelitiannya tersebut bisa 
membuktikan bahwa Sultan 
Hamid II adalah perancang 
lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk 
mengumpulkan semua data. Dari 
tahun 1998-1999,” akunya. 
Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan 
Masagung Jakarta, Badan Arsip 
Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana 
Kadariah Pontianak, merupakan 
tempat-tempat yang paling 
sering disinggahinya untuk 
mengumpulkan bahan penulisan 
tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu 
Analisis Yuridis Normatif Tentang 
Pengaturan Lambang Negara 
dalam Peraturan Perundang- 
undangan). Di hadapan dewan 
penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary 
SH dia berhasil mempertahankan 
tesisnya itu pada hari Rabu 11 
Agustus 1999. “Secara hukum, 
saya bisa membuktikan. Mulai 
dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah 
rancangan Sultan Hamid II,” 
katanya pasti. Besar harapan 
masyarakat Kal-Bar dan bangsa 
Indonesia kepada Presiden RI SBY 
untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi 
pengakuan sejarah, sebagaimana 
janji beliau ketika berkunjung ke 
Kal-Bar dihadapan tokoh 
masyarakat, pemerintah daerah 
dan anggota DPRD Provinsi Kal- Bar.

No comments: